Warning !!

Peringatan!! Banyak mengandung artikel atau informasi untuk khusus DEWASA.
Informasi yang ada di sini bukan sebagai pengganti anjuran dan terapi yang diberikan oleh dokter atau ahli bidang bersangkutan, namun diharapkan dapat menambah pengetahuan Anda. Sebaiknya Anda tetap mengkonsultasikan masalah Anda dengan dokter keluarga Anda atau ahli bidang bersangkutan.

Bila Anda ingin berbagi artikel/ info yang menarik dan sesuai dengan topik blog ini, silahkan berbagi dengan join dan posting ke info_pria@yahoogroups.com.
Semua sumber/ penulis dari pada artikel/ tulisan/ informasi yang dimuat sudah kami usahakan untuk dicantumkan. Bila ada kesalahan harap hubungi kami pada (info_pria-owner[at]yahoogroups[dot]com). Terima kasih.

LEBIH LENGKAP!! Dapatkan DVD Info-Pria, yang berisikan e-book, kumpulan artikel, software dan lainnya. Lebih rinci klik disini.

Wednesday, August 8, 2007

Paruh Baya Bukan Puber Kedua

Ketika memasuki usia paruh baya, seseorang sering berperilaku "mencurigakan". Ada yang genit, suka bersolek, dan menggoda lawan jenis. Ada pula yang menjadi alim dan sibuk dengan kegiatan spiritual. Inikah masa krisis dalam kehidupan seorang manusia?

Anda pernah melihat pasangan atau saudara kita tiba-tiba berubah tingkah ketika memasuki usia 40 tahun? Tiba-tiba suka bersolek, menyukai mobil sport mencorong, genit, suka main mata, bahkan punya pacar lagi atau meninggalkan pasangan dan anak-anaknya untuk menikahi orang lain.

Atau makin suka bicara seputar seks dan dengan berbagai cara berupaya keras mempertahankan "kemudaan"nya; aktif mengikuti kegiatan yang menurut anggapan umum lebih cocok untuk orang muda seperti berdansa dan berolahraga seperti arung jeram, mendaki gunung, atau bermain ski.

Inikah indikator bahwa sesuatu terjadi pada kaum paruh baya? Apakah mereka mengalami krisis?

Cukup banyak orang meyakini adanya midlife crisis (krisis paruh baya) sejak istilah itu dilontarkan oleh Gail Sheehy, Steve Levinson, dan rekan-rekan pada 1970-an. Sampai saat ini cukup banyak orang yang dengan serta merta mencurigai krisis paruh baya sebagai kambing hitam adanya perubahan tingkah laku mencolok yang ditampilkan orang-orang yang usianya mendekati kepala empat.

Bersisi ganda

Tidak dapat dipungkiri bahwa gejala-gejala tadi dialami oleh cukup banyak orang. Namun, perlu dipertanyakan apakah perubahan itu memang indikator terjadinya krisis. Robert R. McCrae dan P.T. Costa (1984) dalam penelitiannya terhadap pria paruh baya ternyata tidak menemukan bukti cukup kuat mengenai adanya krisis paruh baya. Sampai ada bukti lain meyakinkan, gejala perubahan tingkah laku yang kita alami atau amati pada seseorang sebaiknya kita anggap sebagai indikator adanya transisi usia paruh baya. Masa peralihan mengandung perubahan, namun tidak selalu mengakibatkan krisis.

Kalau kita telaah lebih lanjut, usia 40 dapat dikatakan sebagai "siang harinya kehidupan". Pada usia ini kita mulai berhitung berapa lama lagi waktu yang tersisa sebelum ajal menjemput. Ketika menghitung hari itulah, seakan-akan seseorang secara tiba-tiba disadarkan bahwa hanya tinggal sedikit waktu yang tersisa dalam hidupnya yang hanya satu kali ini.

Kesadaran akan hal itu dapat membuat sebagian kaum paruh baya menjadi lebih banyak merenung dan melakukan introspeksi mengenai berbagai hal yang perlu atau akan dilakukannya sepanjang sisa paruh kedua kehidupannya, ambisinya, dan cita-citanya. Sejalan dengan hal ini Carl Jung (1933), pakar psikologi, menyatakan bahwa usia 40-an adalah masa yang tepat untuk the illumination of the self, menggali pemahaman diri agar tercapai pencerahan diri.

Dalam masa peralihan ini, kaum paruh baya akan menghadapi berbagai pengalaman dan kesempatan yang dapat membuat mereka meninjau kembali beberapa aspek mengenai diri dan kehidupannya. Kaum paruh baya bukanlah kelompok yang homogen, melainkan cukup bervariasi.

Mereka cukup bervariasi dalam karakteristik kepribadiannya, karakteristik demografisnya, aspirasinya, cita-citanya, dan hal-hal yang diutamakan dalam kehidupan mereka. Ada yang sudah menikah dan berketurunan, ada yang tidak; ada yang berkarier, ada yang tidak; ada yang sudah mantap dalam berbagai aspek kehidupannya, ada yang masih gonjang-ganjing. Karena itu jangan terjebak dalam pandangan stereotipe mengenai kaum paruh baya.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, semakin diketahui bahwa krisis paruh baya dapat bersisi ganda. Krisis dapat berarti gejolak yang berkonotasi negatif, namun juga dapat membuka peluang baru.

Di masa paruh baya ini dapat terbuka peluang untuk mengevaluasi dan mengeksplorasi kembali berbagai aspek diri seseorang yang selama ini tidak tersentuh atau agak terabaikan akibat kesibukan memenuhi berbagai tuntutan kehidupan sebagai "orang muda". Kemantapan karier, kehidupan keluarga, dan segi finansial amat mendukung seseorang untuk dapat secara lebih santai menekuni kembali hobi yang sudah lama terabaikan.

Dalam pandangan orang lain, perubahan tingkah laku ini mengesankan bahwa seakan-akan mereka baru mulai menekuni kegiatan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, padahal kegiatan atau hal itu sebenarnya pernah menjadi hobinya di masa remaja, dicita-citakan, atau diimpikannya sejak kecil. Jung dan Bernice L. Neugarten (1977) mengemukakan, pada usia 40-an orang cenderung melakukan berbagai hal yang sekan-akan berlawanan dengan yang biasa dia lakukan sebelum usia 40-an.

Namun, kita tidak dapat semata-mata mengambinghitamkan usia sebagai penyebab perubahan itu. Perubahan dan perkembangan dalam masyarakat secara luas pun memberi pengaruh terhadap tingkah laku kaum paruh baya. Pada umumnya, dan dalam dua dekade ini, di Indonesia semakin banyak kaum paruh baya yang memberi prioritas tinggi terhadap aspek spiritual atau keagamaan dalam kehidupannya. Dari kaum muda yang suka hura-hura, seseorang berubah menjadi kaum paruh baya yang alim dan sibuk dengan kegiatan spiritual.

Memasuki usia paruh baya sebenarnya semakin banyak yang menunjukkan sikap lebih matang dan lembut, tidak lagi ceplas-ceplos tanpa tenggang rasa. Bagi sebagian kaum paruh baya yang cukup mapan dan berhasil, inilah waktunya bagi mereka untuk menyempurnakan hidup.

Untuk menggambarkan persepsinya mengenai masa paruh baya, seorang perempuan Amerika mengibaratkan kehidupannya sebagai sebuah rumah. Dalam pandangannya, usia 40 tahunan adalah masa memberi sentuhan akhir untuk mempercantik rumah yang sudah dibangun sepanjang masa 40 tahun sebelumnya. Dalam usaha ini kadang kala seseorang merasa tidak memiliki ide atau tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk memperindah rumah yang sudah dia bangun itu.

Kesadaran mengenai sisa waktu kehidupan mungkin juga mendorong sebagian kaum paruh baya untuk mengejar ketinggalannya dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi yang kurang puas dalam interaksi dengan lawan jenis, sekaranglah masanya menguji diri, apakah masih memiliki daya tarik? Sejalan dengan tema itu, mungkin saja ia jadi tampak seperti genit, melirik-lirik, merayu lawan jenis, atau bahkan selingkuh dan punya pacar lagi. Apalagi masyarakat masa kini juga menunjukkan perhatian besar terhadap penampilan dan kebugaran fisik.

Tidak hanya kaum muda, kaum paruh baya pun seakan-akan memuja kemudaan. Kemantapan kehidupan dan segi finansial sebagian kaum paruh baya juga menunjang mobilitas dan usaha meraih kesempatan yang pernah terlewatkan. Keberhasilan yang dicapainya selama ini memantapkan rasa percaya diri kaum paruh baya, sehingga mereka menjadi lebih berani dan yakin dalam melakukan sesuatu. Mereka tidak lagi terlalu mudah terusik oleh atau memusingkan pandangan orang lain, dan sudah memiliki nilai-nilai moral yang independen.

Karena itu, sebagian dari mereka menjadi lebih berani bereksperimen atau mencoba hal-hal baru, baik dalam rangka mumpung masih bisa atau menganggap bahwa nothing to lose. Coba saja, toh tidak ada ruginya, lebih rugi lagi kalau tidak pernah mencoba.

Hanya mitos

Sekadar untuk diketahui, yang namanya usia tidak hanya ditunjukkan dengan sekian tahun. Ada berbagai jenis usia. Selain itu, usia pun dapat memiliki makna ganda. Ada usia kronologis, yaitu jumlah tahun yang telah kita lalui sejak dilahirkan; usia biologis berkaitan dengan sisa waktu kehidupan sebelum ajal; usia psikologis berkaitan dengan kemampuan adaptasi maupun perasaan subjektif seseorang mengenai usianya; dan ada usia sosial yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab, dan hak yang dimiliki seseorang dalam komunitasnya. Usia sosial inilah yang kerap dijadikan patokan kelayakan tingkah laku seseorang yang mungkin saja tidak sesuai dengan usia psikologis seseorang.

Dalam masyarakat ada patokan untuk model atau warna pakaian yang dianggap pantas untuk kaum remaja, kaum muda, atau kaum paruh baya. Peran dan usia seseorang menentukan harapan orang lain mengenai caranya berbicara, berinteraksi, maupun jenis kegiatan yang patut dia ikuti.

Seseorang juga cenderung memperlakukan atau menilai orang lain berdasarkan persepsinya mengenai usia orang itu. Hal ini tercermin dari komentar seperti, "Pakde gaya sekali. Sudah tua masih pakai baju merah". Atau, "Aduh, sudah sweet sewidak (60 tahun - Red.) kawin lagi", atau "Makin tua makin wah dandanannya".

Kaum paruh baya dianggap bermasalah dan mengundang gunjingan para tetangga bila tingkah lakunya berubah dan dianggap tidak sesuai untuk usianya atau peran sosial yang disandangnya. Kadang kala dalam kaitan dengan patokan sosial, kaum paruh baya pun seakan-akan mengalami diskriminasi. Mereka akan lebih berisiko mengalami sanksi sosial berupa cemoohan atau gunjingan apabila melakukan suatu tindakan yang dianggap lebih pantas dilakukan oleh kaum yang lebih muda usia.

Misalnya, menjalani operasi plastik untuk kecantikan, menjalani proses sedot lemak untuk merampingkan tubuh, atau menghi-langkan keriput di seputar mata. Kaum paruh baya kerap dinilai "lupa umur" apabila gemar berdansa, berkaraoke ria, atau menikmati alunan musik yang sedang digemari kaum muda. Padahal, kalau hal itu dilakukan oleh kaum muda, dianggap sah-sah saja. Ya, kalau dipikir-pikir, norma sosial yang berkaitan dengan kepantasan usia kerap bersifat diskriminatif dan tidak memiliki alasan mendasar yang rasional.

Lain padang lain belalangnya, lain daerah lain pula aturannya. Usia sosial bersumber dari masyarakat dan berisi aturan mengenai kapan (dalam rentang usia berapa) seseorang harus menunjukkan tingkah laku tertentu. Norma usia itu juga mengalami perubahan atau pergeseran. Kalau kita amati sekarang ini, tampak semakin banyak nenek yang berjiwa muda, melakukan kegiatan dan produktif seperti kaum muda, mewarnai rambutnya yang beruban dengan aneka warna, tetapi dapat tetap terlihat anggun. Banyak pria matang, bahkan kakek yang tetap produktif dan bersemangat meski di usia yang sudah jauh melampaui masa paruh baya. Usia subjektif umumnya memang tidak sejalan dengan usia kronologis.

Dalam beberapa penelitian diketahui, usia subjektif psikologis ternyata paling tidak sinkron dengan usia kronologis. Ketika remaja, orang merasa sudah dewasa; tetapi di usia paruh baya ke atas kebanyakan tidak merasakan perubahan usia psikologis subjektif yang berarti. Perubahan usia subjektif baru terjadi bila kaum paruh baya mulai mengalami berbagai kemunduran fisik, menyandang status baru dengan lahirnya sang cucu atau mengalami kematian teman sebayanya seorang demi seorang.

Jadi, apakah di usia paruh baya seseorang harus mengalami krisis? Itu hanya mitos. Yang ada adalah masa peralihan berkaitan dengan perubahan status, peran, kedudukan sosial, perubahan interaksi keluarga, dan lain-lain. Jauh lebih banyak orang yang melalui masa ini dengan tenang, aman, dan damai daripada yang penuh gejolak atau pencilatan, lirak-lirik, bergenit-genit apalagi berselingkuh.

Cukup banyak orang yang menyikapi masa paruh baya sebagai masa untuk evaluasi, introspeksi, dan kemudian mengembangkan aspek spiritual dalam diri mereka, menumbuhkan sikap bijak baik dalam interaksi sosial maupun menghadapi kehidupan secara lebih luas. Dengan demikian, salah satu anak tangga kehidupan dapat dilalui dengan bergairah menuju terbangunnya pribadi yang lebih bijaksana.

Shinto B. Adelar Psikolog, di Jakarta (Intisari)

No comments: