Fenomena fantasia kalangan borju Jakarta, dari klub telanjang bawah tanah sampai layanan pemuas nafsu mobile
Masih ingat Very Bad Things? Film layar lebar yang beredar beberapa tahun lalu, dibintangi Christian Slater dan Cameron Diaz, ini menceritakan adat bujangan Amrik melepas lajang.
Dengan "berpesta" bersama penari striptease, beberapa puluh jam sebelum ke penghulu. Sialnya, fantasi yang berlebihan membuat acara kebablasan. Si penari tewas, calon pengantin terancam masuk bui. Lucu, sekaligus tragis!
Boleh percaya boleh tidak, bachelor party model begitu diam-diam tumbuh subur pula di kalangan eksekutif muda Jakarta. Padahal, seperti dicontohkan dalam film, keperjakaan calon mempelai bisa rontok saat itu juga. Eh, tak cuma bachelor party yang diimpor. Beragam atraksi pemuas syahwat dan pesta-pesta seks, entah dari mana datang idenya, pun ramai bertebaran. Terutama yang berselimut legalitas bisnis tempat hiburan, kafe dan klub-klub eksklusif.
Uniknya, meski belakangan kian benderang pamornya, fenomena fantasia kalangan borju itu tetap menjadi bagian dari sisi gelap Ibukota. Keberadaannya sangat, sangat eksklusif. Tak sembarang orang bisa menikmati layanannya. Minimal harus kenal orang dalam atau bergabung sebagai member dulu, baru bisa "tembus". Untuk menjadi member pun, bibit, bobot, dan bebet Anda diperiksa.
Kemudian, lazimnya sebuah industri, hukum permintaan dan penawaran berlaku pula di sini. Para penyaji menu pelampias syahwat itu tentu sudah berhitung. Tampaknya, mereka mengincar mesin uang paling potensial, kalangan eksekutif muda dan petualang cinta yang punya fantasi seks luar biasa. Pertanda munculnya genre baru perilaku seks menyimpang, yang menomorsatukan gaya hidup penuh fantasi bejat?
Kabin berkelambu
Sebenarnya, berfantasi, apalagi menyangkut hubungan dua manusia lain jenis, bukanlah dosa. Sudah dari sononya, terutama laki-laki, ditakdirkan mudah berimajinasi soal yang satu itu. Para peneliti pun banyak yang bersepakat, fantasi seksual pria sangat kaya dan bisa datang dari mana saja.
Frekuensi ngelamun jorok pria juga jauh lebih sering ketimbang wanita. Kelebihan ini, jika boleh disebut begitu, membuat pria "merasa" punya banyak waktu memikirkan dan mewujudkan fantasi seksnya.
Tak jarang, sebagian fantasi yang tak terpuaskan di rumah, terbang ke tempat bordil. Itu sebabnya, tak ada kota di dunia yang bebas dari bisnis pelacuran. Jakarta misalnya, sebelum dipusingkan urusan Kramat Tunggak, pernah punya Gang Hauber, tempat mangkalnya pekerja seks komersial di zaman Belanda. Saking ramainya, penduduk baik-baik yang tinggal di sekitar maupun di dalam gang merasa perlu menempelkan tulisan "rumah tangga" di depan rumah. Agar hidung belang tak salah masuk.
Barangkali sulitnya memberantas habis fantasi dan prostitusi, seperti dibilang Sigmund Freud, lantaran seksualitas itu sendiri tak pernah bisa ditekan. "Makin direpresi, makin dia bangkit," kata Tommy F. Awuy, dosen filsafat di UI, IKJ, dan Universitas Atmajaya. Dengan kata lain, simpul Awuy, "Seks dan kota memang tak pernah lepas dari persoalan akumulasi modal. Seks, uang, dan kekuasaan menjadi rajutan yang membangun sebuah peradaban."
Buku unik, jika Anda sudah membaca, "Jakarta under cover, sex ’n the city"-nya Moammar Emka makin mempertegas fenomena abadi itu. Dengan tambahan benang merah bahwa fantasi seks gila-gilaan mungkin sedang dan akan terus digandrungi sebagian kecil warga berduit Jakarta. Populasi mereka boleh jadi kurang dari 5% penduduk ibukota. Tapi perputaran uang hasil transaksi seksnya mungkin menyamai atau malah melebihi duit yang berputar di lokalisasi kelas menengah ke bawah.
Ada klub telanjang bawah tanah yang menerapkan sistem keanggotaan dengan amat ketat. Tiap kali berhajat, tamunya bisa mencapai 150-an. Bayangkan, maaf, ratusan pria dan wanita telanjang bulat di satu ruangan. Keliaran macam apa yang terjadi di tengah dentuman musik keras tiada henti, pasti gampang ditebak. Apalagi basement tempat berlangsungnya peristiwa primitif itu juga menyediakan deretan kamar yang hanya ditutup tirai. Siapa mau percaya, masyarakat yang menyikapi goyang ngebor Inul saja, harus terpecah menjadi beragam tingkatan moralitas, ternyata mempunyai klub nudis nan dahsyat.
Ada juga layanan pemuas nafsu mobile, yang populer disebut mobil goyang. Dari luar, kendaraan mewah yang disewakan (Mitsubishi Pajero, Toyota Land Cruiser, Range Rover, atau Opel Blazer) terlihat sama dengan roda empat berharga ratusan juta lain yang berkeliaran di jalan. Tapi coba longok dalamnya, tertata sangat beda. Lebih mirip limousine, karena ada sofa tanpa sandaran, meja makan mini, aneka makanan dan minuman, lengkap dengan perangkat audio visual terkini.
Kursi sopir dan penumpang didesain khusus, sehingga ruangan belakang tak bisa diintip dari depan. Kelambu warna biru tua dipasang mengelilingi kabin belakang. Tak ketinggalan, miniphone yang menghubungkan penumpang dengan sopir. Namun paling istimewa, bonus cewek cantik nan seksi sebagai teman perjalanan. Mau tahu layanan apa yang diberikan si cewek sepanjang "keluyuran" tiga jam keliling Jakarta? Ah, Anda sudah menjawabnya sendiri dalam hati.
Tak kalah gila, cerita dari pesta kalangan the have tertentu. Selain bebas menghamburkan uang, mereka juga seperti bebas dari aturan susila. Konon, ada pesta yang tamunya diharuskan menanggalkan salah satu pakaian pestanya. Mau melepas baju atas atau setelan bawah, terserah. Biasanya, setelah sama-sama menikmati tarian syahwat, mereka yang "kepanasan" dipersilakan langsung berkencan di tempat. Yang tersisa cuma nafsu dan nafsu, ketika half body party berubah jadi sex party.
Di mata Dr. Victor Menayang, ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, fakta-fakta tadi, selain "mengerikan", juga menarik dianalisis. "Informasi yang mengejutkan, menyengat, dan sebelumnya enggak banyak diketahui awam, tentu layak dikaji. Meski sebenarnya, banyak juga cerita-cerita yang sudah pernah kita denger dari teman maupun sekadar selentingan," ucap lelaki Manado itu.
Cerita tentang panti pijat full body contact, kafe, atau klub-klub profesional yang menyediakan tempat indehoi VIP bak surga, salon penyedia layanan lulur triple-X plus, hingga karyawati restoran-restoran asing (Jepang, Korea, Cina) yang kerap merangkap sebagai pekerja seks paruh waktu misalnya, sudah lama menjadi rahasia umum. "Namun paling tidak, makin hangatnya pembicaraan tentang aktivitas seksual kalangan atas, membuat kita lebih waspada," imbuh Victor.
Wanita inferior
Ya, lebih waspada dan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang tengah terjadi di kalangan profesional muda dan para petualang seks ber-doku (duit) tebal di Jakarta?
Ketika fantasi mereka terbukti makin menggila, tidakkah ini pertanda munculnya gaya hidup baru, yang mungkin saja mengekor gaya hidup serupa di Las Vegas, Paris, Amsterdam, atau kota-kota megapolitan dunia lainnya?
"Mungkin saja begitu. Tapi saya lebih melihat, dalam masyarakat plural seperti Jakarta, munculnya aktivitas-aktivitas seperti itu memang sulit dihindari," analisis Dra. Syarifah Sabaroeddin, dosen FISIP UI, pengajar mata kuliah "Perilaku Seks Menyimpang". Dengan kata lain, sisi gelap orang-orang berduit di kota besar merupakan keniscayaan. Meski dari masa ke masa, tingkat keparahannya mungkin saja berbeda-beda.
"Sebagai kelompok, mereka merasa perlu memiliki identitas diri, boleh jadi tercermin dari aktivitas mereka, sehingga mudah dibedakan dengan kelompok lain," tambah Syarifah. Meskipun identitas kelompok itu ditunjukkan dengan fantasi seks gila-gilaan? "Ya, sah-sah saja," tegas Syarifah mantap. Tambahnya, secara politis, kelompok para petualang cinta ini barangkali memang ingin punya cap khusus.
Toh, sambung Syarifah, dalam terminologi sosiologi, gaya hidup mereka sebenarnya bisa digolongkan sebagai perilaku seks menyimpang. "Mereka punya kebiasaan berganti-ganti pasangan, ’kan?" Artinya, komunitas penggemar aktivitas seks luar biasa nan eksklusif ini tetap harus bersiap menghadapi risiko perilaku seks menyimpang. Seperti tertular penyakit kelamin, cemoohan masyarakat, hingga beratnya beban dosa yang divonis agama.
Satu lagi, "Makin lama, gaya hidup mereka harusnya tidak makin eksklusif. Masyarakat, baik lewat buku-buku maupun kajian-kajian di kampus, harus membuat semuanya lebih transparan," ujar Victor Menayang. "Mempelajari soal korupsi, ’kan tidak lantas kita menjadi koruptor. Justru sebaliknya, memanfaatkan informasi untuk mencari pemecahan terhadap masalah-masalah sosial yang ada," tambah lelaki berkulit putih itu berumpama.
Victor mengakui, prostitusi sebagai penyakit sosial klasik yang sulit dibumihanguskan. "Tapi saya percaya, kita harus selalu berusaha mengurangi kadarnya." Informasi yang benar, versi Victor, akan mencegah terjebaknya banyak orang di bisnis seks. "Di negara-negara tetangga kita, seperti Filipina, Thailand, dan pasti juga banyak terjadi di Indonesia, sebagian besar penghuni rumah bordil awalnya terlibat lantaran terjebak. Terutama gadis-gadis di bawah umur," masih kata Victor.
Besarnya keterlibatan pelacur di bawah umur ini memang bukan isapan jempol. Penelitian Unicef tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak yang tereksploitasi secara seksual atau dilacurkan mencapai 40.000 - 70.000 orang. Me-reka tersebar di 75.106 tempat di seluruh Indonesia. Tahun 2003, lima tahun kemudian, angkanya pasti sudah membengkak jauh. Sementara laporan lain menyebut, 30% dari total pelacur di Indonesia adalah anak perempuan kurang dari 18 tahun. Jadi, berhati-hatilah berfantasi dengan perempuan di bawah umur.
Selesai? "Belum," kata Syarifah. Dosen yang juga juga feminis ini bilang, fantasi seks gila-gilaan mempunyai rambu lain, yakni kesetaraan gender. Dia sangat menggarisbawahi, bagaimana perempuan diper-lakukan. "Kalau hubungan laki-laki dan perempuan berjalan setara, oke, enggak masalah. Kita terima sebagai bentuk gaya hidup atau pemberian identitas kelompok. Tapi jika perempuan hanya dijadikan komoditi seks dan bagian-bagian tubuhnya dinilai dengan uang, ini jelas harus ditentang," sergahnya mantap.
"Dalam masyarakat plural, wanita tidak boleh menjadi objek," sambung Syarifah. Barangkali inilah rambu terberat, lantaran selama ini sudut pandang fantasi seks memang masih dimonopoli lelaki. Perempuan-perempuan telanjang bulat peserta pesta nudis di sebuah kawasan di Jakarta Utara, misalnya, adalah tenaga-tenaga bayaran yang diambil dari koleksi para germo kelas atas ibukota. Mereka datang dengan iming-iming bayaran tak kurang dari Rp 5 juta - Rp 10 juta per acara.
Begitu juga wanita-wanita seksi teman perjalanan di mobil mewah bergoyang. Mereka disamakan dengan aksesori kendaraan, karena banderol harganya disatukan dalam paket bikinan sang germo. Tarif Rp 5 juta untuk Mitsubishi Pajero "plus" dan Rp 7 juta untuk Range Rover "plus". Satu paket berlaku sekitar 3 - 4 jam tur keliling kota, dan berlaku untuk semua fantasi seks yang ada di benak penyewanya. Sepanjang tidak keluar dari mobil, tentunya.
Harus diakui, kaum hawa masih lebih sering menjadi kelinci fantasi. Padahal, seperti kata Syarifah, perempuan juga punya fantasi seks dan sudut pandang sendiri. Yang bukan tak mungkin, bisa lebih syur daripada laki-laki.
Barangkali itulah bedanya Jakarta dengan Las Vegas, Paris, atau Amsterdam. Di sini, perilaku seks menyimpang sebagai gaya hidup, jati diri, jati kelompok atau apa pun namanya, harus berhadapan dengan rambu-rambu moralitas masyarakat untuk bisa berkembang. Sudah sepantasnya kalau ruang geraknya makin kita persempit dari waktu ke waktu. (Intisari)