Warning !!

Peringatan!! Banyak mengandung artikel atau informasi untuk khusus DEWASA.
Informasi yang ada di sini bukan sebagai pengganti anjuran dan terapi yang diberikan oleh dokter atau ahli bidang bersangkutan, namun diharapkan dapat menambah pengetahuan Anda. Sebaiknya Anda tetap mengkonsultasikan masalah Anda dengan dokter keluarga Anda atau ahli bidang bersangkutan.

Bila Anda ingin berbagi artikel/ info yang menarik dan sesuai dengan topik blog ini, silahkan berbagi dengan join dan posting ke info_pria@yahoogroups.com.
Semua sumber/ penulis dari pada artikel/ tulisan/ informasi yang dimuat sudah kami usahakan untuk dicantumkan. Bila ada kesalahan harap hubungi kami pada (info_pria-owner[at]yahoogroups[dot]com). Terima kasih.

LEBIH LENGKAP!! Dapatkan DVD Info-Pria, yang berisikan e-book, kumpulan artikel, software dan lainnya. Lebih rinci klik disini.

Wednesday, July 18, 2007

Hiruk-pikuk Single Dad Antara Godaan Dan Gunjingan

Bagaimana jika pria dihadapkan pada posisi sebagai orangtua tunggal. Berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

Sebut saja Lintang, pria berusia 38 tahun itu. Ia, general manager di sebuah perusahaan teknologi dan informasi di Jakarta. Biasanya, segala kebutuhannya diurus oleh istrinya. Tapi, semuanya berubah ketika istrinya meninggal dunia dua tahun lalu. Pria ini harus menangani segala hal di rumah, mulai mengurus keperluan rumah tangga, mengurus dua anaknya, sampai mengatur gaji pembantu.

Berbeda dengan Lintang, Dani (33 tahun), ketika bercerai dengan istrinya, harus mengasuh anak lelaki semata wayangnya yang berusia 6 tahun. Pria yang bekerja sebagai fotografer ini kemudian tinggal di rumah orangtuanya. Namun, dia tak bisa menitipkan anaknya ke tangan orangtua sepenuhnya, karena mereka pun masih bekerja.

Baik Lintang maupun Dani sempat kalang kabut dengan kondisinya sebagai single dad (sebutan orangtua tunggal untuk lelaki-red). Awalnya, mereka merasa hidup ini tidak berjalan dengan normal, karena banyak hal yang harus dilakukannya sendiri.

Berbeda dengan Dani dan Lintang, Willy Dozan (48 tahun) yang berprofesi sebagai aktor laga, di awal masa perceraiannya merasa sangat kesepian, karena dia harus berpisah dengan anak-anaknya. “Biasanya, rumah ramai dengan tawa dan tangis anak-anak, tiba-tiba hilang begitu saja,” ujar pria yang sudah menduda dua tahun ini. Tapi sekarang, dia mulai terbiasa dengan kondisi seperti itu. “Toh, komunikasi saya dan anak tetap jalan,” kata dia menambahkan.

Namun umumnya, masalah yang paling berat dihadapi oleh seorang pria adalah tidak sanggupnya tinggal sendirian terlalu lama, bukan hanya soal kebutuhan terhadap pendamping, tetapi juga menangani segala urusan rumah. Karakter dan sifat anak yang berbeda-beda pun bisa membuat “pusing”. Diperlukan keterampilan, ketelatenan, dan pendekatan khusus. Umumnya, hanya wanita yang bisa melakukan itu, karena pada dasarnya wanita lebih memperhatikan hal-hal detail. Sedangkan pria cenderung berpikir global, garis besar, dan penuh dengan analisis.

Sebagai duda, bicara “godaan” untuk menikah lagi tentu hal yang lumrah. “Pria dengan kondisi demikian ingin menikah lagi, itu manusiawi. Tapi, balik ke individu pria itu masing-masing serta situasi yang dihadapinya,” ujar Jacinta F. Rini dari e-psikologi.com. Willy menambahkan, “memang tidak mudah mencari istri lagi, butuh proses.” Karena menurutnya istri itu nantinya harus baik pula untuk anak-anaknya. Jadi, hal itu memang harus didiskusikan kepada anak dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dengan pertimbangan mendalam sebelum menjatuhkan keputusan.

Masalah lain yang biasanya dihadapi para single dad biasanya menyangkut masalah teknis. Sang ayah yang bekerja mempunyai keterbatasan waktu untuk anak-anaknya. Kendala psikologis dan emosional, seperti perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi ayah yang ideal, over providing (terlalu melayani), dan over curiousity (tidak percaya kepada anak, efek dari ayah kurang percaya diri), bisa muncul.

Bisa pula timbul problem emosional dan psikologis dari sang ayah, seperti masih menyimpan amarah dan perasaan bersalah yang disebabkan oleh perceraiannya. “Hal itu yang memengaruhi cara berpikir si ayah dalam mendidik dan membesarkan anak,” ujar Jacinta.

Status single dad juga terkadang dipandang “aneh” oleh masyarakat, bahkan menjadi bahan tertawaan teman-teman di kantor maupun di lingkungannya bersosialisasi. Menurut Jacinta, hal itu bukan masalah yang patut dibesar-besarkan, sebaiknya fokus pada anak, dengarkan kata hati, berpikir positif, dan menerima kekurangan serta kelebihan diri kita. Dengan begitu, apa pun statusnya, akan lebih enjoy menjalani kehidupan ini, dan yang pasti selalu berserah diri kepada Tuhan.

Sementara untuk menghadapi karakter anak yang berbeda-beda, memang dibutuhkan usaha ekstra. Yang penting, jangan pernah menganggap semua anak bisa diperlakukan sama, apalagi sampai membandingkan untuk melecehkan yang satu dan memuji yang lain.

Bagaimanapun, life must go on. Jadi, apa pun yang terjadi, hidup ini harus tetap dijalani seperti kehidupan normal pada umumnya. Dan, untuk menjaga keharmonisan, dituntut komunikasi yang baik antara ayah dan anak, sehingga dengan atau tanpa seorang istri, hidup tetap harus berjalan sebagaimana digariskan.

Oleh: Chitra Riantina (Majalah Manly)

No comments: